THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 05 Juni 2011

fanfic PB 9A --Guns, Friends, a Revenge-- chap 3

Aku berjanji....

Aku akan membalasnya

Pasti.....

------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ck, umurku pendek ya. 20 tahun dan aku sudah harus mati. Apa ini bisa membuatku bertemu ayah dan ibu? Ah, tidak mereka berdua pergi ke surga sedangkan aku akan ke neraka. Aku masih belum mau mati. Masih ada hal yang belum terbayar. Masih ada dendam yang belum terbalaskan.

“Lihat! Di sana ada apa!” Aku berteriak dengan harapan para Free Rebels akan teralih perhatiannya dan memberikanku kesempatan mengambil Flashbang atau WP Smoke.

“BODOH! Kau kira kami akan terjebak dengan tipuan seperti itu?!” balas seorang rebel sambil mengokang 870 MCS nya.

Aku hanya bisa menelan ludah. Seharusnya aku tahu cara seperti ini takkan berhasil. Aku hanya melihat ke tanah, tempatku berpijak. Sepatuku,,, sudah usang. Apa masih sempat kuganti?

BLAAAARRRRRR! Tiba-tiba terdengar ledakan. Entah dari mana asalnya aku tidak tahu. Semua rebels melihat ke sana. Good chance. Langsung kutarki Flashbang dari saku kiriku, Ari, Deni dan Aan juga melakukan hal yang sama. Puffftttt. Gas non toxin yang menyebabkan radiasi mata langsung menyebar di sekitar para rebels.

Langsung ku ambil AK SOPMOD kebanggan dan kulepaskan peluru ke tubuh mereka. Duarr. Duarrr. Duarrr. Deni dan Aan juga melakukan hal serupa. Suara decit peluru yang dikeluarkan dari Mummynya Deni begitu nyaring ditelingaku seirama dengan ledakan peluru Spas-15. Hanya Ari yang tidak mengingat senjatanya Dragunov CG.

Kawanan rebels yang tadi mengepung sudah tergeletak. Darah bercipratan di mana-mana. Mayat bergelimpangan. Kami berhasil lolos dari maut. Kuberikan kode pada mereka agar mundur dari TKP. Free Rebels bisa saja memanggil bantuan dengan segera. Untuk mengurangi resiko kematian langsung kugas habis CS ONE kembali ke markas diikuti tiga orang temanku.

Selama perjalanan dari Downtown ke Training Camp otakku terus diperas oleh pemikiran-pemikiran aneh. Mulai dari pria tegap di atas gedung DT, Lex si sniper sampai sebuah ledakan misterius yang entah karena apa. Aku bengong sebentar melepas lelah mengingat kejadian tadi kejadian masa lalu rasanya kembali terulang di ingatanku....

“Oi Lek! Jalan kau!”

Then...

Lega rasanya melihat pintu gerbang Training Camp yang tidak begitu megah. Hanya terbuat dari kayu lokal yang bisa saja runtuh tiba-tiba entah karena waktu atau rayap yang makan.

“Terus kita ke mana sekarang?” Tanya Ari usai memarkirkan Scoopy pinknya (?)

“Melapor. Kita harus melapor ke letnan sekarang!” jawabku dengan nada datar namun tegas.

“Sekarang? Baru juga tembak-tembakan udah ngehadap atasan. Capeklah, tidur dulu kek.” Keluh Deni dengan raut wajah yang begitu letih. Memang melelahkan pertempuran barusan. Meski kami sudah dibina dengan begitu keras di camp, pertarungan sebenarnya jauh berbeda dengan kenyataan.

Kami masih diam di tempat parkir. Berdiri di samping masing-masing motor. Sunyi senyap hening tiada suara kecuali angin malam yang menderu sangat pelan.

Aku menghela nafas. Kutarik dalam-dalam lalu, “Aku akan melapor, kalian kembalilah ke ruangan.”

Mereka bertiga menatapku dengan tatapan heran. Mulut mereka terbuka sedikit, aku tahu mereka akan protes akan keputusanku maka kulanjutkan, “Akan kujelaskan kronologisnya kalian tinggal tenang di kamar.” Mulut mereka kembali tertutup dan langsung pergi ke dormitory (bahasa kerennya asrama).

Sekarang aku sendiri. Masih berdiri di samping CS ONE silver milikku. Kakiku masih gemetaran, trauma karena suasana perang tadi. Hah, aku masih perlu waktu untuk mengumpulkan keberanian dan mengatakan pada letnan kalau kami FAILED!

Tugas menjaga Downtown dari para rebels benar-benar gagal. Bukannya menjaga kami malah terkepung dan melarikan diri. Aku tidak peduli apa yang akan dikatakan letnan nanti, masalahnya adalah kami gagal menjalankan misi dan itu hal yang paling memalukan bagi CT Forces.

Yak, sudah kuputuskan. Tubuhku mulai bergerak, melangkah perlahan menuju kantor Letnan Darwin yang namanya sudah membahana di distrik sini.

Tok...Tok

“Masuk.” Terdengar suara berat dari dalam ruangan. Kubuka pintu dan kudapati letnan sedang duduk di belakang meja. Aku tidak berani menatapnya. Kepalaku hanya tertunduk ke bawah sambil mengingat serentetan perkara yang terjadi saat pertempuran pertamaku tadi.

“Ada apa?” tanyanya

“Lapor! Divisi 27 baru saja menjalankan misi!” Jawabku dengan suara yang tidak begitu lantang seperti biasanya.

“Lalu?”

“Kami gagal.”

“Gagal? Bisa dijelaskan?”

“Free Rebels mengepung Downtown. Jumlah Free Rebels kira-kira 70 orang tadi.”

“Hmmm. Aku rasa salah mengirim newcomers. Baiklah kembali ke tempatmu!”

“Laksanakan!”

Aku membalikkan tubuhku dan keluar dari ruangan yang hawanya mulai berubah sejak kukatakan ‘gagal’ tadi. Kututup pintu perlahan. Fuh, aku tidak menyangka bisa melewati sesuatu yang sulit seperti itu. Hah, kembali kulangkahkan kaki --yang nampaknya sudah tak tahan lagi-- melewati lorong-lorong gedung.

Dormitory, cuma itu tujuanku sekarang merebahkan badan lalu terbang ke alam lain seraya mengistirahatkan seluruh saraf dan ototku. Sepanjang jalan menuju dormitory kepalaku masih dipenuhi rasa penasaran. Mengapa letnan merasa bersalah? Apa dia tahu kalau rebels akan mengepung DT? Lalu, jika ia tahu mengapa memaksakan newcomers seperti divisi 27 untuk terbang ke sana?

Pintu kamarku, sebenarnya pintu kamarku dan teman-temanku. 4 orang tidur di sini bersamaan. Kudorong pintu dan kudapatkan...... yang lainnya sudah terkapar seperti ikan yang tak berada di air. Kelihatannya pertempuran tadi benar-benar menguras stamina mereka. Jujur, aku juga ingin langsung tidur. Kuganti pakaian dengan kaos dan celana pendek dan naik ke atas ranjang. Kuucapkan doa tidur dan menutup mata.

Saat ragaku mulai melayang ke dunia mimpi sebuah panggilan sialan datang

“FAIZ TANJUNG HARAP SEGERA KE RUANGAN LETNAN SEKARANG”

Urghh, aku baru saja merebahkan badanku dan harus berjalan lagi? Whatever, aku cuma menuruti perintah dan ke ruangan letnan itu lagi. Seharian ini sudah tiga kali aku kesana.

Tok...Tok

Kuketuk dulu pintunya sebelum masuk (perlu dicontoh tingkahku ini). Setelah mendengar kata “masuk” dari dalam kubuka pintu.

Letnan mempersilahkan aku untuk duduk.

“Ceritakan, apa yang terjadi saat itu.” Tanyanya dengan nada datar

“Hmmm, aku harus mulai dari mana?”

“Saat pertama menginjakkan kaki di DT.”

Kuceritakan kejadiannya, mulai dari mendapat coklat kejutan hingga pembantaian yang kami lakukan pada sekawanan Free Rebels.

“Kalian membantai 70 orang?” dia merespon dengan sedikit kaget namun tetap datar.

“Aku kira juga begitu, mungkin sekedar keberuntungan.”

“Tapi Lex, dan pria di atas gedung itu tidak kalian bunuhkan?”

“Tidak, aku rasa tidak, mungkin mereka sudah pergi duluan.”

“Atau mungkin mereka berada di atas atap memperhatikan kalian?”

“Kalau benar begitu kepala kami pasti sudah hancur dibuat oleh Lex!” nadaku meninggi entah mengapa

“Aku ragu, tapi kalau benar pria yang kau lihat itu mungkin Valdo.”

Valdo? Aku mulai takut. Batinku terus bertanya. Valdo yang sudah terkenal di khalayak ramai sebagai salah satu kaki tangan ketua Free Rebels.

“Aku tidak tahu mengapa Valdo turun tangan hanya untuk mengurusi Downtown.”

Ya, aku juga setuju dengan perkataan letnan barusan. Untuk apa salah satu orang kepercayaan ketua Free Rebel turun ke Downtown yang saat itu tidak ada istimewanya?

“Sudahlah, kembali ke ruanganmu sekarang.”

Mendengar itu hatiku lega, langsung aku keluar dari pintu letnan itu dan menuju ruanganku (kami?) di dormitory dan mengakhiri hari dengan sebuah tidur yang kurindukan.

------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jumat, 03 Juni 2011

Fanfic Riviera --Ein's Decision-- chap 2

Kelamaan gak blogging +_+ sori2 ada sibuk bentar jadi ini aku lanjutin fanfic Riviera ku 

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sampai kapan aku bisa menahan perasaan ini. Sebuah rasa yang tak kumengerti. Lama kita bersama namun selalu hal yang bodoh kuperbuat di depanmu.

Ein yang telah berhasil menyelesaikan misinya --menemui Rose-- segera kembali ke Hobbit Smithy. DI Hobbit dia menemui kedua temannya masih berdebat mengenai dirinya sendiri.

“Tidak bisa! Menurutku Ein cocok dengan Cierra.” Kata Chappi sambil memukul meja.

“Apa alasanmu berkata begitu?” balas Claude dengan tenang.

“Kelembutan hati Cierra pasti cocok dengan Ein.”

“Kalau begitu kenapa tidak Fia saja? Bukannya dia yang pertama kali menyambut Ein di Elendia? Dan lagi hati Fia juga sama lembutnya dengan Cierra.”

“Yang aku takutkan Lina malah merasa cemburu. Lupakan aja dua bersaudara itu, Claude. Nanti akan timbul rasa cemburu antara mereka.”

“Kau benar, Chapp. Lalu bagaimana dengan Serene? Ein yang lembut dengan Serene yang cool aku rasa cocok.”

“Entahlah, serahkan saja semua pada Ein. Aku menyerah.” Kata Chappi sambil menghela nafas.

Ein masuk ke Hobbit Smithy --tanpa permisi tentunya-- dan langsung mengambil satu kursi tepat di depan konter. Ia hanya bisa tersenyum-senyum sendiri tanpa alasan yang jelas.

“Kau kenapa Ein?” Tanya Chappi dengan wajah herannya.

“Senyum-senyum sendiri padahal gak ada yang lucu tuh.” Timpal Claude

Ein hanya diam. Ia tidak memperdulikan rasa ingin tahu kedua temannya. Sejenak ia melupakan daratan. 

Kembali mengingat hal-hal yang telah ia lewati. Pertempuran demi pertempuran dikenangnya kembali. Ah... suatu hal yang menyenangkan. Bebas dan lepas, sama sekali tidak terikat apapun. Itulah yang dipikirkannya.

Tiba-tiba Ein mengingat kembali awal mula petualangannya. Saat Ledah mengajarinya Overdrive, saat Rose yang berwujud kucing selalu memarahinya. Sentak ia mengingat kawannya yang dulu merupakan kucing, Rose, teman seperjalannannya selama ini.

“Banyak hal yang telah kulewati bersamanya.” Ujar Ein dalam sela waktu.

Kembali ia mencoba mengingat setiap detik bersama Rose. Ia ingat saat Rose melarangnya menukarkan Diviner dengan sayapnya. Lalu, ketika  Rose mengingatkan Ein mengenai tingkah Hector yang aneh. Sampai ketika perubahan Rose menjadi manusia seutuhnya. Wajah polos Rose saat itu benar-benar tergambar dengan jelas di dalam memori Ein.

Ein masih bingung, mengapa Ia terus memikirkan seorang gadis yang terus bersama dalam hidupnya dalam wujud kucing. Hanya dalam empat tahun terakhir saja Ia dalam bentuk manusia sempurna. Setiap berada di depan Rose, Ein tidak bisa mengatakan hal yang dirasakannya.

“Apa sebenarnya yang kurasakan? Hal apa ini?” Ein kembali berujar sendiri. Claude dan Chappi yang sedari tadi melihat Ein semakin merasa khawatir melihat tingkah temannya yang berbicara sendiri tersebut.

“Hei, Ein. Are ya okay?” Tanya Chappi sambil menepuk bahu sobatnya.

Ein kembali dari lamunannya. Ia hanya menatap kedua temannya yang memasang wajah heran. Dia memasang sebuah senyum simpul di wajahnya. Seakan memberi tanda pada kedua temannya bahwa ia telah mendapatkan secercah cahaya. Raut wajah Ein yang sejak tadi pagi murung akhrinya berubah drastis.

“Aku telah memutuskan siapa yang akan mendampingiku.” Kata Ein seraya berdiri dengan gagah.

Chappi hanya bisa memberikan ekspresi terkejut yang mendalam ditandai dengan mulutnya yang menganga lebar. Claude sebenarnya juga terkejut mendengar pernyataan Ein tadi, namun ia menjaga imagenya dengan tetap diam.

“Siapa dia Ein?” Tanya Chappi sambil menatap mata coklat Ein.

Aku akan mengumpulkan seluruh keberanian yang kumiliki. Hanya untuk satu hal. Menyatakan rasa cintaku yang terpendam selama ini. Aku tidak akan peduli kau menerimanya atau tidak. Hanya ingin kau mendengarku.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pernahkah engkau memperhatikanku? Pernahkah engkau mengingatku? Pernahkah engkau memikirkan perasaanku padamu? Bisakah sejenak sediakan waktumu untukku? Mungkin aku tak seperti mereka bersamamu belakangan ini. Namun kuingin kau menjadi milikku selamanya.

Tok...Tok...Tok

Pintu rumah Fia dan Lina diketuk. Kondisi rumah itu sangat sepi mengingat Ein dan Rose tidak ada di dalamnya.

“Biar aku yang membuka pintu.” Kata seorang gadis berambut kuning juga baju kuningnya. Rambutnya dipisah lalu diikat dua. Dia adalah Lina adik dari Fia.

“Siapa?” kata Lina sebelum membuka pintu. “Oh, Rose. Ayo masuk.” Seraya mempersilahkan Rose masuk.

“Darimana saja Rose? Selarut ini baru pulang?” Tanya Fia yang keluar dari dapur.

“Nggg, aku hanya jalan-jalan di Elendia kok.” “Fia ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.”


“Oh silahkan saja. Apa aja boleh kamu tanya kok.”

“Empat mata aja bisa kan?”

Fia memberi isyarat pada Lina untuk kembali ke kamarnya. Lina hanya bisa menurut sambil menggerutu tidak jelas. Ya meski disuruh ke kamar Lina tetap mencari tempat tersembunyi agar bisa mencuri pembicaraan mereka.

“Kamu mau tanya apaan, Rose? Kok mesti pribadi gini?” tanya Fia

“Fia, apa kamu ngerti cinta?” tanya Rose dengan wajah serius

“Ya, sedikit. Itu kan bumbu terakhir dalam setiap masakanku.”

“Bukan yang seperti itu maksudku. Kamu ngerti kan, ketika kamu menyukai lawan jenismu dan semacam itulah.”

“Maaf Rose. Kelihatannya hal ini harus kamu cari tahu sendiri. Aku sama sekali tidak mengerti.” Jawab Fia mengakhiri obrolan mereka.

“Rose sedang jatuh cinta? Wow, dengan siapa ya?” Hati Lina bertanya-tanya yang sedari tadi mendengar percakapan kakaknya dan Rose.

Aku masih belum bisa mengartikannya. Apa benar ini sebuah cinta? Atau hanya karena ikatan batin yang terjadi selama kau dan aku bersama. Apa hanya sebuah ikatan persaudaraan antara kau dan aku? Oh Tuhan berilah aku jawaban atas semua kegalauan hati ini.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tertutup debu dan telah usang. Begitulah hatiku selama ini. Sampai suatu ketika kau datang memberinya cahaya dengan senyumanmu. Namun, apakah kau mau menyentuhnya? Memang tidak pantas diriku bersamamu. Sayang rasaku tak bisa dipendam lagi, harus kungkap semua.

Larut malam di Elendia. Aktivitas desa damai tersebut mati total. Setiap rumah telah mematikan lampunya. 

Tinggallah cahaya bulan tersisa di langit nun jauh. Menerangi setiap sudut Elendia. Terkecuali sebuah tempat pembuatan senjata Hobbit Smithy. Lampu disana masih terang benderang.

“Kau yakin Ein?” Tanya Chappi tiba-tiba.

“Ya, Ein. Jangan gegabah pikirkan terlebih dahulu. Menurut hitunganku...” sambung Claude

“Akh, kalian tidak mengerti yang kumaksud.” Ein mulai beridiri. Ia melanjutkan kata-katanya, “Dia telah bersamaku untuk waktu yang lama. Dia selalu ada kapanpun. Dimana ada aku, dia juga ada di sana.”

“Hmmmh... Kami rasa kami tidak bisa menghalangimu Ein.” Kata Claude

“Ya, kalau keputusanmu sudah bulat, kami akan mendukungmu dari belakang.” Timpal Chappi

“Terima kasih teman-teman. Terima kasih sudah mengertiku.” Kata Ein dengan sedikit membungkuk.

“Tapi, bagaimana caramu mengungkapkannya?” lanjut Chappi.

Suasana hening sejenak. Ein terus memutar otaknya dan mencari cara agar hari itu menjadi hari yang takkan dilupakan olehnya dan pasangannya. Dia mendapatkan ide dan langsung memberitahu kan idenya pada kedua temannya.

Awalnya Claude nampak kurang yakin namun Ein percaya caranya ini akan berhasil. Setelah mendengar semua rencana Ein, Chappi bergegas keluar ke tempat si target dan membawa remah roti. Claude juga pergi ke tempat yang akan dijadikan memori tak terlupakan.

Angin malam yang dingin menderu Elendia. Hal itu tidak menyulutkan niat Chappi untuk mendatangi rumah Fia dan Lina. Tepat di depan rumah mereka ia bukannya mengetuk pintu depan, melainkan menaikki sebuah tangga dan mengetuk jendela kamar lantai dua.

Sentak Rose yang berada di kamar itu kaget dan terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Yap benar, target adalah si wanita kucing berbalut baju hitam serta pita hijau, Rose. Melihat Rose yang terbangun, Chappi langsung turun dan menulis sebuah surat.

Kalau kau ingin mengetahui siapa aku
Ikuti jejakku
G A

Rose membuka jendela kamarnya dan mendapati sebuah surat berserta remah roti. Awalnya dia tidak ingin menuruti si G.A tersebut namun dia penasaran siapa yang melakukan ini. Alhasil Rose turun dari kamarnya mengikuti jejak remah tersebut.

“Siapa sebenarnya G.A ini? Mengganggu tidur kecantikanku saja.” pikir Rose dalam hati.

Ia masih mengikuti jejak tersebut. Cukup jauh memang jaraknya dari rumah Fia dan Lina. Ia lelah namun tetap menelusuri remah-remah yang tersebar di Elendia. Ia tiba di ujung remah tersebut. Mendapati sebuah danau yang disinari oleh sang rembulan. Hatinya bingung ia berjalan sejauh ini hanya untuk sebuah danau.

Matanya terbelalak ketika melihat seorang pria berdiri di tepi danau itu. Ia mencoba mengenalinya. Ein! 

Begitulah kata hatinya meski ragu. Rose terus mendekati danau tersebut, dia terus menyebut nama Ein di lubuk hatinya.

Pria dengan setelan baju yang sehari2 ia kenakan itu berbalik badan mendengar suara langkah kaki yang mengejarnya. Tak lain dan tak bukan pria tersebut adalah Ein. Ia sudah menunggu kedatangan Rose. Rose kaget dan menghentikan langkahnya, ia memilih untuk berjalan pelan ke arah Ein.

“Apa yang kau lakukan di sini Ein? Selarut ini?” tanya Rose sedikit berteriak karena frustasi.

“Aku menunggumu.” Balas Ein santai

“Apa maksudmu?” masih bertanya dengan nada tinggi

“Rose, aku tidak tahu harus berkata apa.” Ein mulai mendekati Rose. Hingga akhirnya Ia memeluk Rose dengan erat. “Aku mencintaimu Rose.”

Rose yang dipeluk Ein kaget. Dia tidak tahu reaksi apa yang akan dikeluarkannya mendengar pengakuan tiba-tiba Ein ini. Finally dia hanya membalas pelukan Ein dan berkata, “Aku juga mencintaimu Ein.”

“Terima kasih, Rose.” --Errr kissing maybe--.

Mereka saling memadu kasih di bawah sinar rembulan di pinggir danau. Chappi dan Claude hanya bisa terharu di balik semak-semak. Ini adalah awal kisah sejoli baru di dunia.

 I don’t believe in love
Love is suck
~Sylvan Lamina Bordeaux~