THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 03 Mei 2011

fanfic PB 9A --Guns, Friends, a Revenge-- chap 2

“A...Ada apa ini? Kenapa banyak sekali darah disini?”

“Mengapa banyak orang membawa senjata?”

“Siapa mereka?”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Oi....Bangun kau!” kata seseorang sambil menggerak-gerakkan tubuhku.

“Urghhh Dimana aku?” Kataku sambil mencoba bangkit dari tempat tidur. Aku hanya melihat 3 temanku sedang mengelilingiku dengan tatapan aneh.

“Kau lupa? Kita di CT Force camp. Sudah sebulan kita resmi menjadi CT kawan.” Kata Ari

Ya, aku baru ingat. Sebulan lalu kami berempat lolos testing dan sekarang menjadi CT Force. Aku hanya mencoba mengumpulkan sedikit kesadaran dan langsung bergerak ke kamar mandi. Kucoba menenangkan diriku dengan air setelah mimpi yang sangat buruk barusan. Aku hanya bisa mengguyur tubuhku sambil sesekali meninju dinding kamar mandi. Hanya bisa berkata, “Jika aku lebih kuat, maka itu semua takkan terjadi.”

“DIVISI 27 HARAP SEGERA BERKUMPUL DI RUANGAN 1ST LT. DARWIN DALAM LIMA MENIT!”

Tiba-tiba toa di camp memanggil divisiku. Sebenarnya ada apa? Mengapa Lt. Darwin membutuhkan kami? Entahlah. Aku hanya mempercepat upacara mandiku dengan cara mengguyur badan secara gaje. Brrrrrr. Dingin memang suasana pagi itu. Segera setelah kupakai kostum kebanggan CT Force, kami berempat bergerak ke ruangan Lt. Darwin.

“Divisi 27 siap!” seru kami berempat serentak dengan posisi siap.

“Divisi 27.” Kata letnan berkumis tipis tersebut. “Kalian belum pernah turun ke medan perang kan?”

Ya kataku dalam hati. Memang selama ini kami hanya berlatih di Training Camp. Tak pernah sekalipun turun.

“Begini. Divisi-divisi lain sedang dalam kondisi tidak siap menerima tugas. Apa divisi kalian siap menerima misi pertama?”

“Siap Letnan!” jawab kami serentak (lagi)

“Bagus. Aku suka semangat kalian. Kalian akan diturunkan ke Downtown. Kabar burung (burung sape) mengatakan tempat itu menjadi sasaran Free Rebels berikutnya. Tugas kalian adalah menjaga daerah tersebut.”

Downtown? Tempat itu cukup ramai. Tidak heran Free Rebels mengincarnya.

“Namun, aku ingin kalian bertindak sabar dan tidak gegabah. Kalau melihat hal-hal mencurigakan cobalah untuk tidak langsung menyerangnya. Dismiss!”

Mendegar misi kami yang pertama kami langsung ke camp dan mempersiapkan segala sesuatunya. Tak lupa kubawa kalung keberuntungan peninggalan Ibu. Ibu, Ayah, aku akan menghadapi Free Rebels. Tolong doakan aku dari surga.

“Misi pertama kita ini.” Kata Deni dengan raut wajah exciting gitu.

“Ho oh. Moga-moga nggak langsung mati ya.” Sambung Aan.

“Kita ke gudang senjata lagi abis ini kan? Aku ambil senjata apaan yak?” tanya Ari juga dengan raut wajah menghadapi misi pertama sebagai CT Force.

“Yuk gerak.” Ajakku pada mereka menuju gudang penyimpanan. Kami berlari menuju gudang persenjataan CT Force. Jaraknya nggak jauh sih dari Training Camp. Kepleset juga nyampe.

“Kau ngambil apa Den?” tanyaku sesaat setelah menginjakkan kaki di gudang senjata.

“Biasa dah. Make M4A1 S. aja. Selama training juga ini senjataku. Kau An? Cemana? Yang biasa juga?”

Aan hanya diam. Dia masih mikir senjata mana yang cocok dengan kepribadiannya.

“Emang cuman ini senjata kesayangan.” Katanya sambil mengambil SPAS-15 dari kotak persediaan.

Meanwhile, Ari masih nyar-nyari senjata. Dari tadi dia muter terus --dari section SMG ampe ke section Shotgun.

“Cepetlah Ri. Lama kali kau. --Billing Ini--.” Keluh Deni melihat temannya yang satu ini masih bingung tanpa sebab yang jelas. Memang benar ada banyak senjata di gudang ini tapi nggak semua cocok dengan si user kan.

“Ri, coba pake senjata ini.” Kataku sambil menyerahkan senjata laras panjang. Tepat ini sebuah sniper. Tepatnya Dragunov CG. Evolusi Dragunov yang dibalut dengan corak ular disekitarnya.

“Wah makasi Iz. Keren ini senjata.” Katanya dengan wajah berbinar, sambil mencoba scope Dragunov yang terkenal begitu akurat.

Untuk secondary aku cuman ngambil MK-23 -- jaga-jaga kalau mesti sembunyi-sembunyi nyerangnya--. Melee aku ambil sebilah Kukrii dan untuk throw equipment aku ambil aja K-400 dan Flashbang. Urghh senjata-senjata ini terasa berat terutama AK SOPMOD yang menjadi primaryku untuk saat ini.

Selama training divisiku memang selalu menjadi divisi terbaik untuk kategori newcomers. Namun, sesuatu sudah menunggu di depan. Kami mengambil motor masing-masing yang diparkir di gerbang Training Camp -- aku dengan Cs One ku, Deni dengan Rx-Kingnya, Ari dengan Scoopynya (bukan dari moun tea ya scoopynya) dan Aan dengan Ninja RR--. Sekilas kami tidak terlihat seperti CT Force (lebih mirip gembel gitu ==a).

Later On...

Downtown. Memang ramai tempatnya. Kulihat arlojiku menunjukkan pukul 17:00 WPB (waktu point blank). Jam kerja, wajar ramai. Aku coba cari gerak-gerik yang mencurigakan. Tapi tak kudapat satupun, mungkin kabar kalau Free Rebels akan meneror Downtown hanya isapan jempol belaka.

Tiba-tiba dua gadis datang pada kami. Yang satu tinggian, dan yang satu pendekkan.

“Mas-mas ini CT Force ya.” Kata gadis yang agak tinggi pada kami. Aku hanya bersikap cool dan mengignore mereka.

“Mas-mas ini ganteng ya. Terutama yang ini nih.” Kata gadis yang agak pendek pada Ari. “Mau terima coklat buatanku nggak?” Lanjutnya sambil nyerahin sebungkus coklat yang aromanya agak aneh di hidungku.

Si Ari langsung aja nyamber ntu coklat --kelaperan mungkin--. Dua gadis tadi pun pulang dengan raut wajah yang agak aneh menurutku. Saat itu aku sadar, aroma, dua cewek barusan. Grrr

“Awas Ri!” Refleks tanganku menepuk tangan Ari dan coklat barusan terpental lalu jatuh ke tanah. Tiba-tiba DUARRRRR. Coklat tersebut meledak --Coklat eksklusif event valentine--. Kami berempat terkena imbasnya. Bahkan aku terpental beberapa meter.

Semua orang di Downtown langsung lari mendegar --dan melihat-- ledakan barusan. Seketika Downtown yang terkenal ramai menjadi kota mati. Matahari sudah tak lagi kuat untuk menampakkan dirinya di langit Downtown.

“Polisi bego.” Kata seseorang dari kejauhan. “Itu salam dari kami. FREE REBELS.” Lanjut seorang temannya lagi.

Baru aku sadar dua orang ini adalah orang yang memberi coklat pada Ari dan ternyata mereka adalah anggota Free Rebels.

“Halo CT Force.” Kata seseorang dari atap sebuah gedung di Downtown. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Yang aku tahu tubuhnya kekar dan siap dengan peralatan perang dan dia pria. “Cih, menyedihkan sekali CT Force. Mereka bahkan tidak memiliki anggota lagi untuk melawan kami sampai harus mengirim 4 orang Trainee yang tidak memiliki pengalaman.” Lanjut orang tersebut dengan nada mengejek CT Force.

“CT Force tidak menyedihkan. Dan kau tidak tahu apa-apa tentang kami.” Balas Aan dengan nada marah mendengar hinaan barusan.

“Ho? Begitukah? Baik!....Lex. Coba beri mereka salam.” Tiba-tiba seorang sniper muncul disamping pria tadi. Ia menggunakan sebuah PSG-1. Lalu, crooot. Selongsong peluru menyerempet bahuku. Sangat sakit rasanya. Inikah perang?

“Heh...heh...heh... Tadi itu baru salam.” Kata pria yang bernama Lex itu dengan santai.

Ari yang emosi melihat kejadian barusan langsung mengeluarkan DG CG nya dan membidik Lex. Namun, apa daya Lex nampaknya sudah begitu professional. Dengan kondisi dibidik Ia malah menembakkan PSG-1nya ke wajah Ari. Tidak kena memang namun hal itu cukup membuat kami tahu kalau lawan kami bukan orang biasa.

Apa yang harus kulakukan? Di saat mereka sudah sangat dekat, kakiku gemetaran. Apa aku harus memanggil bantuan? Tidak mungkin, sedikit gerak Lex pasti mengheadshot aku. Sigh apa yang harus kulakukan???

“Ho? Kalian sudah bingung? Bagaimana dengan ini?” Kata pria kekar di atas gedung sambil mengangkat tangannya.

Suddenly, 10 Free Rebels dengan equipment lengkap datang. Ah tidak 20 bukan 30. Sekitar 50-70 orang sudah berkumpul mengelilingi kami dengan hawa membunuh yang sangat besar. Ergghh. Nampaknya hidupku berakhir di sini.....

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sori agak telat, belakangan ini badan aku gak kuat lagi begadang. Jadi maaf ya readers

Minggu, 01 Mei 2011

Fanfic Riviera --Ein's Decision-- chap 1

Hello readers, hari ini aku ngepost fanfic pertamaku dari game Riviera
kalo ga suka ato apalah mending gosah dibaca

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

4 tahun setelah pertarungan besar dengan the holy beast evil Seth-Rah. Riviera kembali mendapat kedamaian meski tanpa dewi pelindung Ursula. Sang malaikat Ein dan teman-temannya menjalani hidup yang tenang. Hingga suatu ketika

“Fia aku pergi dulu”, kata Ein di depan pintu rumah Fia dan Lina. Maklum saja selama ini Ein tinggal di rumah sederhana itu bersama dua gadis cantik.

“Hati-hati ya Ein”, sahut Fia dari dapur yang kelihatannya sedari tadi belum menyelesaikan masakannya. 

Gadis berambut hijau itu mencicipi sup buatannya “Hmmm rasanya kurang garam”, begitu gumamnya.

Ein beranjak pergi, niatnya dia ingin mencari Rose yang entah pergi ke mana sejak pagi tadi. “Aku mulai dari mana ya? Mungkin Undine Spring atau Groove of Repose” pikirnya dalam hati. 3 langkah berjalan dia 
dihadang oleh Ladie penjaga dari Elder of Elendia.

“Tuan, anda dipanggil oleh Elder Graham”, kata Ladie sambil membungkuk.

“Aku? Tapi mengapa?”, dengan wajah bingung dia bertanya sepert itu

“Entahlah tuan, saya juga tidak tahu”

“Hmmmh baik-baik aku datang”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Elder aku datang”, Ein berkata seraya masuk ke dalam rumah Elder yang tidak begitu luas hanya satu ruangan di rumahnya

“Ein.......... aku rasanya sudah saatnya bagimu untuk............ menikah” Elder berkata begitu dengan membelakangi Ein

“Akh? Tidakkah itu terlalu cepat? Maksudku tidak sesimpel itu”, bantah Ein dengan sedikit berteriak

“Tidak”, Elder mulai membalikkan badannya. “Umurmu sudah cukup, 4 tahun di Elendia kau pasti telah memilih satu dari empat gadis cantik itu kan? Mereka yang bertualang bersamamu”, lanjutnya

“Entahlah, aku tidak punya pikiran ke sana”

“Aku menunggu jawabanmu Ein. Satu bulan dari sekarang”

Sang malaikat keluar dari rumah Elder dengan wajah tertunduk ke bawah. Dia tidak tahu apa arti dari semua ini. Menikah? Tidakkah itu terlalu cepat? Aku masih ingin menikmati hidupku yang sekarang. Setidaknya itu yang berputar-putar di dalam kepalanya.

Ein terus berjalan tanpa arah. Mungkin Chappi bisa membantuku. Dengan mempercepat langkahnya ia sampai di Hobbit Smithy. Sebuah tempat pembuatan senjata terbaik di Elendia karena memang satu-satunya.

“Hey Ein, whazzup?” sapa Chappi ketika ketika Ein melewati pintu tokonya

“Oh, Chapp, bisa aku bercerita?” Tanya Ein yang mulai duduk di sekitar konter Chappi

“Tentu Ein. Apa saja” sambil mengelap sebuah pedang

“Eeeeeeeee, chapp bisa aku bertanya tentang.............”

“Ya tentang apa? Jangan putus-putus gitu dong”

“Mmmmmmm menikah.”

“Eh? Apa maksudmu? Apa kau akan menikah? Dengan siapa? Kapan? Tema pestanya apa?” Tanya Chappi dengan begitu antusias

“Heu. Itu dia masalahnya. Elder mendesakku padahal aku masih belum mau melangsungkan upacara suci dan sakral tersebut”, ia menurunkan kepalanya hingga ke meja.

“Oh aku rasa tidak. Umurmu mungkin sudah cukup Ein. Ayolah mengapa tidak? Menikah itu bagus, kau akan mengucapkan janji suci dengan seorang wanita yang kau cintai selama-lamanya.” Jelas Chappi panjang lebar. 

“Lalu apa Elder juga memberikanmu seorang wanita pilihan?”

“Bukan seorang, namun empat. Mereka adalah orang yang pernah bertualang bersamaku. Mungkin kau benar sudah umurku untuk menikah namun memilih satu dari empat orang ini yang agak membuatku muak.” Ein kembali duduk tegap dengan tangan melipat di atas meja.

“Mungkin benar mereka semua memiliki kelebihan tersendiri”

Suasana hening sejenak

“Ein kalau aku jadi kau aku akan bertanya pada Claude. Dia orang yang pintar dan penuh perhitungan. Aku akan memanggil Ia kemari?” Chappi menyarankan pada Ein sambil meletakkan pedang yang sedari tadi masih ia lap

“Oh Chapp, aku punya ide yang lebih baik. Aku yang akan mendatanginya ke Crystal Caverns”
Ein mulai beranjak dari kursinya

“Thx Chapp, kuharap kau bertambah tinggi”

“Ein!!!!!!! Holy Sh!t!!!!!”

Ia keluar dari Hobbit Smithy, dan berjalan pelan menuju Crystal Caverns. Perlahan-lahan matahari mulai menenggelamkan dirinya sendiri. Entah mengapa matahari tidak menyinari Elendia secara penuh hari itu, entah karena ikut merasakan kebingungan Ein atau hanya sebuah coincidence.

Tepat di mulut gua Crystal Caverns, Scarlet Witch Cierra yang berlari terburu-buru menabrak Ein.

“Eeeehhh, maaf Ein. Aku sedang terburu-buru”, kata Cierra sambil berusaha bangkit.

“Loh, mau kemana? Claude ada di dalam kan?”, seraya mengulurkan tangan pada Cierra.

“Oh maaf Ein, aku harus segera pergi”, Cierra akhirnya pergi begitu saja.
Saat memasuki Crystal Caverns, Ein melihat Ritz sedang menggali ya karena itulah pekerjaannya.

“Hei Ritz, apa Claude ada di dalam?” Tanya Ein pada Ritz yang masih menggali

“Wew, kapan kau datang? Atau memang aku yang sedang keasyikan?”

“............... Claude ada di dalam?”

“Oh Claude, entahlah, kau tahu aku tidak pernah memperdulikan apapun saat bekerja” sambil melanjutkan penggaliannya. Entah apa yang digalinya tidak ada yang tahu

Ein menaikki tangga ke perkumpulan para penyihir Magic Guild.

“Ah Claude, ternyata kau di sana” akhirnya wajah Ein yang dari tadi murung mulai cerah kembali walau hanya sedikit.

“Welcome Ein. Ada masalah penting apa ya sehingga harus mencariku?” sambil membaca buku sihir

“Eeeee ini mengenai ............. *whisp.....whisp*”, Ein membisikkan permasalahannya ke kuping Claude

“Haaaaa?” teriakan Claude tadi nampaknya membuat Soala agak sedikit pensaran. “ Ok ok, terus kenapa mencariku?”

“Lebih baik kita bicarakan ini di Hobbit Smithy. Kelihatannya tetangga sebelah tidak bisa diajak kompromi”
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Di perjalanan menuju Hobbit Smithy Claude masih bertanya dengan rasa ingin tahu yang tinggi mengenai eeee masalah yang tadi tentunya. Ein hanya tertunduk ke bawah, tidak memperdulikan ocehan peramu berambut hijau tersebut. Raut wajah sang malaikat mulai menunjukkan keputus asaan. Senja akhirnya datang. Perlahan tapi pasti matahari meninggalkan kota yang tenang Elendia.

“Claude! Sudah lama kita tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu?” Chappi menyambut Ein & Claude dengan cukup bersemangat

“Oi, orang pendek. Ya lama juga kita tidak berjumpa hehe. Kabarku baik. Bagaimana dengan tokomu?” balas Claude sambil tersenyum sendiri tanpa alasan, mungkin karena puas bisa menghina Chappi dengan sebutan “pendek”.

“To the point aja langsung! Ayo Ein beritahu dia masalahnya” kata Chappi pada Ein

“Urghh, aku sedang malas” Ein menundukkan kepalanya ke konter Hobbit Smithy. “Kau saja yang mengatakan pada Claude” sambungnya dengan mulut tertutup oleh tangannya sendiri

“Ya Chapp, aku masih belum mendapat mengenai gambaran masalah sobat kita ini” ceplos Claude

“Dengar baik-baik. Ein mendapat perintah dari Elder untuk melaksanakan upacara suci --hal yang belum pernah kau lakukan--. Aku tahu di benakmu ini merupakan hal yang baik karena Ein sudah cukup umur, namun ada satu masalah, yaitu calon pendamping hidupnya.”

“Loh, dengan tampang yang seperti ini bukannya lebih gampang mencari wanita?”

“Yang bilang dia tidak punya calon siapa?! Maksudku dia diharuskan memilih empat wanita!!!”

“Empat?! Oh yang pernah bertualang bersamanya itu kan?”

“Akhirnya, isi kepalamu nyambung juga. Ya berhubung kau pintar jadi kami minta pendapatmu.”

“Oh. Biar ku analisis sebentar.” Kata Claude tadi kelihatannya mensunyikan suasana untuk sementara. Chappi hanya sibuk mengelap salah satu pedang kesayangannya, sedang Ein hanya tergeletak di konter Hobbit Smithy. Entah dia tidur ada malah mendengarkan semua perkataan kedua sahabatnya.

Claude malah mengeluarkan beberapa lembar kertas. Mulai melakukan beberapa perhitungan. Memang kepintarannya sudah diakui oleh Elder di Elendia, namun entah mengapa Chappi selalu mengatakannya “bodoh”.

“Akh, baru kali ini aku tidak bisa memberikan keakuratan diatas 50%.” Kata Claude seraya mencoret-coret kertas perhitungannya secara tidak jelas

Mendengar celotehan Claude tadi, Chappi bereaksi “Apa maksudmu dengan 50%?”

Claude hanya diam, Ein malah bangun seraya berkata “Sudahlah, tak perlu membantuku. Tinggal mengatakan pada Elder aku tidak siap dan masalah selesai”

Dia pergi meninggalkan Hobbit Smithy dengan perasaan yang agaknya kacau balau. Grim Angel yang berambut coklat itu sedang berjalan-jalan di Elendia. Berharap bisa bertemu Rose.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cahaya merah di barat telah hilang, bulan tiada di langit. Elendia benar-benar gelap gulita, sunyi sekali. Tidak seorangpun berani keluar di malam hari. Tiba-tiba *kresek.....kresek*, terdengar suara semak-semak yang saling berlaga di arah jam 2.

Sentak Ein kaget, ia mengeluarkan Divinernya --Einher Jar-- yang didapatkan setelah mengorbankan sayapnya.

“Siapa di situ?” Tanya Ein sambil memperhatikan sekeliling

“Ini aku Ein. Turunkan senjatamu.” Sesosok yang mirip manusia keluar dari semak-semak. Seseorang dengan wajah manis dibalut dengan baju hitam serta pita hijau di sekitar lehernya. Telinganya yang mirip kucing --memang dia perwujudan kucing-- serta ekornya yang panjang membuat Ein segera menyimpan Divinernya kembali.

“Satu harian aku mencarimu. Kau kemana saja sih?” Tanya Ein sambil melipat tangannya di atas dadanya

“Ein? Kau mencariku? Apa aku begitu manis sampai-sampai kau mengkhawatirkanku?” balas perempuan setengah kucing tersebut.

“Haha. Kau membuatku geli, Rose.” Kata Ein. “Malam-malam begini kenapa kau masih berkeliaran di Elendia?”

“Dasar Ein. Seperti tidak kenal aku saja hehe”

Ein mendekat dan menjitak kepala Rose. “Awww, kenapa Ein?” kata Rose sambil memegangi kepalanya.

“Gadis manis sepertimu tak pantas keluar semalam ini.” Ucap Ein. “Oh ya bilang pada Fia, aku tidak pulang hari ini.” Seraya berjalan menjauhi Rose.

Ein pergi menjauh dari Rose. Rose hanya terdiam terpaku melihat kepergian Ein.

Mungkin kau tidak akan pernah menyadari rasa ini. Selamanya akan kusimpan, terpendam dalam hatiku yang gelap. Hanya milikmu seorang hatiku ini.

Riviera's character

cuman mo ngasi liat main characters of Riviera bagi yg belon tau

Ini main chara namanya Ein (mirip gw yak)


Ini satu dari empat gadis cakep yg prnah bertualang dgn Ein. Namanya Fia


Ini adiknya Fia, dia juga pernah bertualang dengan Ein. Namanya Lina


Nah ini namanya Serene, gadis cool yang juga kawan seperjuangan Ein ngelawan Hector



Ini terakhir Scarlet Witch. Namanya Cierra


Nah itu semua main characters yang akan kamu temukan saat main riviera

fanfic PB 9A --Guns, Friends, a Revenge-- chap 1

Prologue

Ayah, Ibu... Jangan tinggalkan aku sendiri. Aku bisa apa tanpa kalian.

"Pergilah nak, kota ini sudah dihancurkan oleh Free Rebels. Sebentar lagi pasukan CT Force akan datang menyelamatkanmu. Selagi menunggu cobalah untuk bertahan hidup."

"Ayah.....Tidak.....Tunggu....Jangan....."


­­­­­­­­­­­­­­­­­___________________________________________________________________________________

Aku terbangun saat seberkas cahaya matahari berhasil menerobos masuk ke kamarku lewat jendala. Kulihat jam dinding yang pendek menujuk ke angka 7 lewat sedikit, dan yang panjang menunjuk ke angka 4. 7.20 WIB. "Test CT Force." teriakku mengingat hari ini adalah hari testing CT Force. Urgh, segera aku lompat dari tempat tidur menuju kamar mandi. Aku hanya mandi dengan segera, menghemat waktu kalau-kalau aku terlambat bisa-bisa aku batal masuk CT Force setempat.

"Harus cepat nih, kalau telat bisa mati aku." gumamku saat mendorong CS ONE milikku keluar dari garasi. Kupacu motorku sekitar 60-75 km/h. Jarak dari camp CT ke rumahku memang agak jauh makanya aku agak khawatir. Tepat di depan camp, aku rem mendadak sampai-sampai roda belakang motorku terangkat beberapa senti dari tanah. Kuparkir motorku dan kulihat lagi jam tanganku, dan kudapatkan sekarang sudah jam 7.55. Aku langsung ke main room, menabrak beberapa orang untung mereka pemaaf semua jadi ya tidak ada masalah.

Di main room, sudah banyak orang berkumpul. Ya mereka semua adalah sainganku menjadi troopers. Sayang di tempat ini tak ada yang kukenal sampai seseorang menepuk pundak kananku. "Oi iz!" seru seseorang yang menepuk pundakku tadi. Aku mengenali suaranya yang metal -melayu total- itu. "Loh Aan?" tanyaku kaget sesudah menoleh. "Kau mau jadi trooper juga, An?" tanyaku sambil menjabat tangannya ala pria. "Hei, kalian di sini juga." kata seorang laki-laki dari kejauhan. Awalnya aku tak mengenali wajahnya, namun semakin dia dekat berjalan aku tahu siapa dia. "Den, lama tak jumpa. Sudah 6 tahun." sapaku saat dia sudah bergabung denganku dan Aan.

"Gak nyangka kita bakal berkumpul di sini ya." kata Aan

"Iya nih, jadi teringat jaman dulu." timpalku

"Tapi kurang satu orang kita." lanjut Deni

"Siapa? Aku ya?"

Seorang laki2 (agak diragukan sih) tiba-tiba join pembicaraan kami dari belakang. Sentak ini membuatku dan 2 temanku melirik ke belakang. Aku cuma tersenyum melihat laki-laki tersebut. "Lama gak jumpa ya all." kata pria tersebut dengan raut wajah ceria. Dia adalah Ari. Salah satu temanku di masa lalu juga. Memang agak lucu, aku bertemu dengan 3 kawan lamaku semasa sekolah dulu. Kami berempat pernah berjanji akan masuk menjadi trooper saat dewasa, tapi aku tak pernah menyangka bertemu dengan mereka di sini.

Sekitar 5 menit kami basa-basi mengenai apa yang kami kerjakan selama beberapa tahun terakhir, main room ini sudah penuh dengan manusia yang berasal dari entah berantah. Aku mencoba membaca sifat-sifat mereka dari ekspresi masing-masing, ada yang rileks, ada yang gugup, ada yang terlalu bersemangat, bahkan ada yang tidak peduli. Semua itu sainganku bahkan 3 teman yang sekarang berada di dekatku ini juga saingan meraih cita-citaku menjadi CT Force.

"SELAMAT DATANG CALON TROOPERS!"

Tiba-tiba suara keluar dari speaker yang terletak di sudut-sudut main room. Yang tadi mengucapkan salam adalah Capt. Abdul Majid -pemimpin camp CT Force di distrik kotaku-. Dia sedang berdiri dengan gagahnya di atas podium main room. Sedikit kulihat ada Amok Kukrii disangkutkan di celananya.

"HARI INI ADALAH TESTING BAGI KALIAN UNTUK MENGGAPAI TUJUAN KALIAN YANG SATU! MENJADI CT FORCE. SEKARANG BAGI PESERTA TESTING HARAP MENDATANGI PANITIA UNTUK MENGAMBIL NOMOR RUANGAN TESTING. SELAMAT BERJUANG!!!!."

Mendengar komando seperti itu, kami berempat langsung bergerak menngambil nomor ruangan.

"Kalian ruangan berapa? Aku ruang 7 ini." kata Deni setelah mendapatkan nomor ruangan.

"Aku 5. Kau An?" Kata Ari singkat.

"Wah nomor ku 9 ini kalo dibalik." jawab Aan sambil membolak-balikkan nomor ruangannya.

"Bilang aja 6 An. Susah amat ~_~." sahutku melihat tingkah Aan yang agaknya mencoba mencairkan suasana.

"Kau sendiri, Iz? tanya Aan padaku

"Wah Aku jauh sendiri [-_-'']. Aku di ruang 13."

"Nomor sial tu, siap-siap la ya." kata Deni

"BAGI PARA PESERTA TESTING DIPERSILAKAN MEMASUKI RUANGAN YANG TELAH DITENTUKAN. KALIAN AKAN MENGHADAPI TES TERTULIS TERLEBIH DAHULU. TERIMA KASIH"

Yang barusan naik ke atas podium dan berbicara adalah 1st Lt. Darwin. Dia juga merupakan salah satu trooper terbaik dari distrik kotaku. Penampilannya agak berbeda dari Capt. Abdul Majid. Dia menggunakan Dual Knife sebagi meleenya. Kami bertiga berpisah, memasuki ruangan masing-masing. Harapanku sih testingnya nggak susah, aku belum belajar kemarin. "Ini ruang 13 ya?" tanyaku pada salah seorang Master Sgt. di depan pintu ruangan. "Ya, silakan masuk." katanya

Aku masuk dan langsung mengambil bangku yang ada di belakang (kebiasaan).Kertas tes dibagikan. Kupandangi satu per satu soal. "Waktu kalian 30 menit dimulai dari sekarang." Kata seorang pengawas yang kulihat pangkatnya masih 2nd Sgt. grade 3

1. Dari manakah L115A1 berasal?
U.K

2. Berapa damage AK Sopmod?
Kalo nggak salah 33

3. Tuliskan sedikit mengenai K-5?
Senjata mainan anak-anak ==a. Nembak orang gak bakalan berasa.

4. Apa keistimewaan Mini Axe?
Ringan, berdamage tinggi, bisa dilempar

5. Apa makanan kesukaan Brigadir Syahril?
Ha? Ngaco ini pertanyaan {~_~''}

Begitulah soal-soal tesku. Susah sih nggak, ngaconya ini parah.

"Waktu tes selesai, semua lembar jawaban dikumpulkan. Seluruh peserta tes dipersilakan keluar." kata pengawas ruangan 13 yang wajahnya rada-rada sangar.

Aku langsung keluar dari ruangan menyeramkan tersebut dengan pikiran yang semrawutan. Aku cuma berjalan santai dan mendapati Deni, Aan, dan Ari sudah berkumpul duluan. Aku bergabung dengan mereka, menceritakan kondisi tes masing-masing ruangan.

"TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASI KALIAN PARA CALON TROOPERS. HASIL TES BISA KALIAN LIHAT BESOK."

Setelah mendengar pengumuman dari Capt. Abdul Maji -yang diucapkan pake toa mesjid- kami semua pulang, dan kembali kupacu CS ONE ke rumah.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Apa yang terjadi dengan tes mereka berempat? Apa si tokoh utama bakal lulus tes dan menjadi CT Force? Silahkan tunggu next chap!

fanfic RO --It was an accident-- chap 1

"Hey kamu tak apa kan?" ujar Wizard berambut perak.

Sentak si wanita yang baru saja terlempar beberapa meter jadi kaget.

"Hey jawab, apa ada yang terluka?" lanjut sang Wizard sambil memegang tangan si wanita.

Hal itu benar-benar sukses membuat wanita tersebut pingsan.

Kemudian...

"Urrrggh. Dimana aku?" kata si wanita tersebut di atas sebuah tempat tidur

"Kamu ada di Geffen. Di rumahku tepatnya. Setelah pingsan tadi ya aku menggotongmu kemari."

Perkataan Wizard barusan membuat wanita ini memerah wajahnya

"Maaf merepotkanmu Mr. Wizard. Namaku Leryna." seraya mencoba turun dari tempat tidur

"Jangan bangun dulu,,, Leryna. Tubuhmu itu masih terluka. Coba minum ini." kata Wizard misterius sambil menyerahkan sebotol red potion ke Leryna

“Terima kasih ya."

Wajah Leryna semakin merah saat tangan sang Wizard secara tak sengaja menyentuh tangannya. Ia tersipu malu, gemetaran, melting lebih tepatnya. Wajar saja, Wizard yang ia lihat saat ini memang bukan seperti laki-laki biasa. Tubuhnya proporsional, wajahnya tampan, sifatnya juga sangat baik dan cukup perhatian (sori kalo gw nulis sifat gw sendiri).

Si Wizard menyadari kalau Leryna ini masih seorang Novice dilihat dari kostum yang ia kenakan. Leryna meneguk habis red potion barusan dan tubuhnya kembali segar setelah dihajar oleh poporing.

“Kamu mau jadi apa nanti?” Wizard itu kembali berujar.

“Hm? Entahlah. Aku juga masih bingung ini.” Jawab Leryna. Ia mencoba tetap tenang meski dalam keadaan gugup begitu.

“Ya, saranku jangan jadi mage ya, kelihatannya tidak cocok dengan kepribadianmu.”

“Wah sudah sore, maaf Mr.Wizard. Aku pulang dulu ya.” Leryna ingin segera mengakhiri percakapannya dengan si Wizard. Ia takut jika terlalu lama di sana bisa membuatnya mati gaya.

“Oh hati-hati di jalan ya, Leryna.”

“Mmmm... Na...nama kamu siapa? Setidaknya aku harus tahu nama orang yang telah menolongku.” Kata Leryna sambil menunduk, ia tidak berani menatap Wizard yang tampannya enggak ketulungan itu.
“... Acerys. Namaku Acerys.”

“Aku pulang ya Acerys. Terima kasih untuk semuanya.” Leryna langsung keluar dari pintu rumah Acerys dan berlari menuju sebuah Inn yang sebenarnya tak jauh dari rumah Acerys.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Matahari sudah tak terlihat di langit Geffen. Bulan biru perlahan menunjukkan keanggunannya. Derasnya aliran sungai di Geffen, terdengar menjadi aliran musik klasik di telinga seorang gadis manis berambut hijau.

Baginya hari ini adalah hari yang sangat berat. Niatnya dia ingin berlatih di sekitar Geffen, tapi malah dihajar oleh Poporing dan Drops. Dia sangat beruntung bertemu dengan seorang Wizard, kalau tidak bisa-bisa nyawanya melayang dengan mudah seperti debu yang ditiup angin sepoi-sepoi sore hari.

“Dia masih muda, tapi sudah jadi Wizard. Aku? Novice belum beranjak sejak kemarin.” Gumam Leryna.

“Coba kuingat lagi, hari ini aku berlatih tapi dihajar Poporing, Drops ah >_<. Malu dihajar sama monster inagresif kayak gitu. Baru aku pingsan dan kebangun di sebuah rumah Wizard keren nan baik hati.” Leryna terus berbicara pada dirinya sendiri sambil menatap bulan biru yang tampak penuh hari ini. Pikirannya terus dipenuhi oleh seorang Wizard berambut perak.

“Kapan ya aku bisa bertemunya lagi?”
“Tadi itu gadis yang manis ya.” Dengus Acerys di tengah kegelapan kamarnya. Ia sengaja menutup jendela kamarnya agar tidak ada cahaya yang masuk.

Sebanarnya apa yang dirasakan Acerys tak jauh beda dengan Leryna, ya mereka berdua saling jatuh hati ketika pertama berjumpa. “Aku ingin dia menjadi mage, bertualang bersamanya. Hah, apa bisa?”

Dia hanya bisa men”huh” dirinya sendiri. Dia merasa bodoh membiarkan Leryna pulang terlalu cepat.

“Kapan ya aku bisa bertemunya lagi?”