Hello readers, hari ini aku ngepost fanfic pertamaku dari game Riviera
4 tahun setelah pertarungan besar dengan the holy beast evil Seth-Rah. Riviera kembali mendapat kedamaian meski tanpa dewi pelindung Ursula. Sang malaikat Ein dan teman-temannya menjalani hidup yang tenang. Hingga suatu ketika
“Fia aku pergi dulu”, kata Ein di depan pintu rumah Fia dan Lina. Maklum saja selama ini Ein tinggal di rumah sederhana itu bersama dua gadis cantik.
“Hati-hati ya Ein”, sahut Fia dari dapur yang kelihatannya sedari tadi belum menyelesaikan masakannya.
Gadis berambut hijau itu mencicipi sup buatannya “Hmmm rasanya kurang garam”, begitu gumamnya.
Ein beranjak pergi, niatnya dia ingin mencari Rose yang entah pergi ke mana sejak pagi tadi. “Aku mulai dari mana ya? Mungkin Undine Spring atau Groove of Repose” pikirnya dalam hati. 3 langkah berjalan dia
dihadang oleh Ladie penjaga dari Elder of Elendia.
“Tuan, anda dipanggil oleh Elder Graham”, kata Ladie sambil membungkuk.
“Aku? Tapi mengapa?”, dengan wajah bingung dia bertanya sepert itu
“Entahlah tuan, saya juga tidak tahu”
“Hmmmh baik-baik aku datang”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Elder aku datang”, Ein berkata seraya masuk ke dalam rumah Elder yang tidak begitu luas hanya satu ruangan di rumahnya
“Ein.......... aku rasanya sudah saatnya bagimu untuk............ menikah” Elder berkata begitu dengan membelakangi Ein
“Akh? Tidakkah itu terlalu cepat? Maksudku tidak sesimpel itu”, bantah Ein dengan sedikit berteriak
“Tidak”, Elder mulai membalikkan badannya. “Umurmu sudah cukup, 4 tahun di Elendia kau pasti telah memilih satu dari empat gadis cantik itu kan? Mereka yang bertualang bersamamu”, lanjutnya
“Entahlah, aku tidak punya pikiran ke sana”
“Aku menunggu jawabanmu Ein. Satu bulan dari sekarang”
Sang malaikat keluar dari rumah Elder dengan wajah tertunduk ke bawah. Dia tidak tahu apa arti dari semua ini. Menikah? Tidakkah itu terlalu cepat? Aku masih ingin menikmati hidupku yang sekarang. Setidaknya itu yang berputar-putar di dalam kepalanya.
Ein terus berjalan tanpa arah. Mungkin Chappi bisa membantuku. Dengan mempercepat langkahnya ia sampai di Hobbit Smithy. Sebuah tempat pembuatan senjata terbaik di Elendia karena memang satu-satunya.
“Hey Ein, whazzup?” sapa Chappi ketika ketika Ein melewati pintu tokonya
“Oh, Chapp, bisa aku bercerita?” Tanya Ein yang mulai duduk di sekitar konter Chappi
“Tentu Ein. Apa saja” sambil mengelap sebuah pedang
“Eeeeeeeee, chapp bisa aku bertanya tentang.............”
“Ya tentang apa? Jangan putus-putus gitu dong”
“Mmmmmmm menikah.”
“Eh? Apa maksudmu? Apa kau akan menikah? Dengan siapa? Kapan? Tema pestanya apa?” Tanya Chappi dengan begitu antusias
“Heu. Itu dia masalahnya. Elder mendesakku padahal aku masih belum mau melangsungkan upacara suci dan sakral tersebut”, ia menurunkan kepalanya hingga ke meja.
“Oh aku rasa tidak. Umurmu mungkin sudah cukup Ein. Ayolah mengapa tidak? Menikah itu bagus, kau akan mengucapkan janji suci dengan seorang wanita yang kau cintai selama-lamanya.” Jelas Chappi panjang lebar.
“Lalu apa Elder juga memberikanmu seorang wanita pilihan?”
“Bukan seorang, namun empat. Mereka adalah orang yang pernah bertualang bersamaku. Mungkin kau benar sudah umurku untuk menikah namun memilih satu dari empat orang ini yang agak membuatku muak.” Ein kembali duduk tegap dengan tangan melipat di atas meja.
“Mungkin benar mereka semua memiliki kelebihan tersendiri”
Suasana hening sejenak
“Ein kalau aku jadi kau aku akan bertanya pada Claude. Dia orang yang pintar dan penuh perhitungan. Aku akan memanggil Ia kemari?” Chappi menyarankan pada Ein sambil meletakkan pedang yang sedari tadi masih ia lap
“Oh Chapp, aku punya ide yang lebih baik. Aku yang akan mendatanginya ke Crystal Caverns”
Ein mulai beranjak dari kursinya
“Thx Chapp, kuharap kau bertambah tinggi”
“Ein!!!!!!! Holy Sh!t!!!!!”
Ia keluar dari Hobbit Smithy, dan berjalan pelan menuju Crystal Caverns. Perlahan-lahan matahari mulai menenggelamkan dirinya sendiri. Entah mengapa matahari tidak menyinari Elendia secara penuh hari itu, entah karena ikut merasakan kebingungan Ein atau hanya sebuah coincidence.
Tepat di mulut gua Crystal Caverns, Scarlet Witch Cierra yang berlari terburu-buru menabrak Ein.
“Eeeehhh, maaf Ein. Aku sedang terburu-buru”, kata Cierra sambil berusaha bangkit.
“Loh, mau kemana? Claude ada di dalam kan?”, seraya mengulurkan tangan pada Cierra.
“Oh maaf Ein, aku harus segera pergi”, Cierra akhirnya pergi begitu saja.
Saat memasuki Crystal Caverns, Ein melihat Ritz sedang menggali ya karena itulah pekerjaannya.
“Hei Ritz, apa Claude ada di dalam?” Tanya Ein pada Ritz yang masih menggali
“Wew, kapan kau datang? Atau memang aku yang sedang keasyikan?”
“............... Claude ada di dalam?”
“Oh Claude, entahlah, kau tahu aku tidak pernah memperdulikan apapun saat bekerja” sambil melanjutkan penggaliannya. Entah apa yang digalinya tidak ada yang tahu
Ein menaikki tangga ke perkumpulan para penyihir Magic Guild.
“Ah Claude, ternyata kau di sana” akhirnya wajah Ein yang dari tadi murung mulai cerah kembali walau hanya sedikit.
“Welcome Ein. Ada masalah penting apa ya sehingga harus mencariku?” sambil membaca buku sihir
“Eeeee ini mengenai ............. *whisp.....whisp*”, Ein membisikkan permasalahannya ke kuping Claude
“Haaaaa?” teriakan Claude tadi nampaknya membuat Soala agak sedikit pensaran. “ Ok ok, terus kenapa mencariku?”
“Lebih baik kita bicarakan ini di Hobbit Smithy. Kelihatannya tetangga sebelah tidak bisa diajak kompromi”
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di perjalanan menuju Hobbit Smithy Claude masih bertanya dengan rasa ingin tahu yang tinggi mengenai eeee masalah yang tadi tentunya. Ein hanya tertunduk ke bawah, tidak memperdulikan ocehan peramu berambut hijau tersebut. Raut wajah sang malaikat mulai menunjukkan keputus asaan. Senja akhirnya datang. Perlahan tapi pasti matahari meninggalkan kota yang tenang Elendia.
“Claude! Sudah lama kita tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu?” Chappi menyambut Ein & Claude dengan cukup bersemangat
“Oi, orang pendek. Ya lama juga kita tidak berjumpa hehe. Kabarku baik. Bagaimana dengan tokomu?” balas Claude sambil tersenyum sendiri tanpa alasan, mungkin karena puas bisa menghina Chappi dengan sebutan “pendek”.
“To the point aja langsung! Ayo Ein beritahu dia masalahnya” kata Chappi pada Ein
“Urghh, aku sedang malas” Ein menundukkan kepalanya ke konter Hobbit Smithy. “Kau saja yang mengatakan pada Claude” sambungnya dengan mulut tertutup oleh tangannya sendiri
“Ya Chapp, aku masih belum mendapat mengenai gambaran masalah sobat kita ini” ceplos Claude
“Dengar baik-baik. Ein mendapat perintah dari Elder untuk melaksanakan upacara suci --hal yang belum pernah kau lakukan--. Aku tahu di benakmu ini merupakan hal yang baik karena Ein sudah cukup umur, namun ada satu masalah, yaitu calon pendamping hidupnya.”
“Loh, dengan tampang yang seperti ini bukannya lebih gampang mencari wanita?”
“Yang bilang dia tidak punya calon siapa?! Maksudku dia diharuskan memilih empat wanita!!!”
“Empat?! Oh yang pernah bertualang bersamanya itu kan?”
“Akhirnya, isi kepalamu nyambung juga. Ya berhubung kau pintar jadi kami minta pendapatmu.”
“Oh. Biar ku analisis sebentar.” Kata Claude tadi kelihatannya mensunyikan suasana untuk sementara. Chappi hanya sibuk mengelap salah satu pedang kesayangannya, sedang Ein hanya tergeletak di konter Hobbit Smithy. Entah dia tidur ada malah mendengarkan semua perkataan kedua sahabatnya.
Claude malah mengeluarkan beberapa lembar kertas. Mulai melakukan beberapa perhitungan. Memang kepintarannya sudah diakui oleh Elder di Elendia, namun entah mengapa Chappi selalu mengatakannya “bodoh”.
“Akh, baru kali ini aku tidak bisa memberikan keakuratan diatas 50%.” Kata Claude seraya mencoret-coret kertas perhitungannya secara tidak jelas
Mendengar celotehan Claude tadi, Chappi bereaksi “Apa maksudmu dengan 50%?”
Claude hanya diam, Ein malah bangun seraya berkata “Sudahlah, tak perlu membantuku. Tinggal mengatakan pada Elder aku tidak siap dan masalah selesai”
Dia pergi meninggalkan Hobbit Smithy dengan perasaan yang agaknya kacau balau. Grim Angel yang berambut coklat itu sedang berjalan-jalan di Elendia. Berharap bisa bertemu Rose.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cahaya merah di barat telah hilang, bulan tiada di langit. Elendia benar-benar gelap gulita, sunyi sekali. Tidak seorangpun berani keluar di malam hari. Tiba-tiba *kresek.....kresek*, terdengar suara semak-semak yang saling berlaga di arah jam 2.
Sentak Ein kaget, ia mengeluarkan Divinernya --Einher Jar-- yang didapatkan setelah mengorbankan sayapnya.
“Siapa di situ?” Tanya Ein sambil memperhatikan sekeliling
“Ini aku Ein. Turunkan senjatamu.” Sesosok yang mirip manusia keluar dari semak-semak. Seseorang dengan wajah manis dibalut dengan baju hitam serta pita hijau di sekitar lehernya. Telinganya yang mirip kucing --memang dia perwujudan kucing-- serta ekornya yang panjang membuat Ein segera menyimpan Divinernya kembali.
“Satu harian aku mencarimu. Kau kemana saja sih?” Tanya Ein sambil melipat tangannya di atas dadanya
“Ein? Kau mencariku? Apa aku begitu manis sampai-sampai kau mengkhawatirkanku?” balas perempuan setengah kucing tersebut.
“Haha. Kau membuatku geli, Rose.” Kata Ein. “Malam-malam begini kenapa kau masih berkeliaran di Elendia?”
“Dasar Ein. Seperti tidak kenal aku saja hehe”
Ein mendekat dan menjitak kepala Rose. “Awww, kenapa Ein?” kata Rose sambil memegangi kepalanya.
“Gadis manis sepertimu tak pantas keluar semalam ini.” Ucap Ein. “Oh ya bilang pada Fia, aku tidak pulang hari ini.” Seraya berjalan menjauhi Rose.
Ein pergi menjauh dari Rose. Rose hanya terdiam terpaku melihat kepergian Ein.
Mungkin kau tidak akan pernah menyadari rasa ini. Selamanya akan kusimpan, terpendam dalam hatiku yang gelap. Hanya milikmu seorang hatiku ini.
0 komentar:
Posting Komentar